kumpulan novel

Senin, 04 Oktober 2010


CHAPTER 1:
KAMU BEDA DENGAN KAMI

Cerita khusus buat Dwi Andari Agustien — Sesungguhnya kaulah perempuan bidadari yang lahir atas nama cinta wangi!

"Cinta itu lucu.
Ia senantiasa memberikan rasa riang, senang,
dan bahagia pada insan yang tengah kasmaran."
(Effendy Wongso)


Hai, nama saya Fadli. Andi Fadli Rizal Pahlevi. Saya cowok Bugis tulen, tapi jablay — jarang dibelai. Hehehe, itu hanya plesetan dari kucing alias kuper-cinta, Cing! yang beda-beda tipis dengan jablay. Saya mahasiswa semester dua pada sebuah perguruan tinggi negeri jurusan ekonomi yang klop dengan hidup saya yang serba ekonomis alias bokek. Nah, itulah gambaran kecil tentang saya yang sebenarnya sedikit lebih tampan dari Justin Timberlake. Ya, saya sedikit lebih tampan dari dia, tapi dia jauh banyak lebih tampan dari saya! Saya belum pernah pacaran — makanya jablay. Tapi saya naksir seorang cewek teman satu kampus. Namanya, Kris Suryani. Heh, jangan ditanya! Dia itu perfect! Sempurna segala-galanya! Tapi sayang saya tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hati ini padanya....
***
Di kampus lagi sepi ketika saya iseng-iseng main ke kantin. Suasana di dalam kantin juga sepi. Tumben. Hanya terlihat satu-dua makhluk yang bernama manusia di sana. Selebihnya terlihat beberapa ekor makhluk berkaki empat atawa kucing. Biasanya juga satu-satunya tempat mangkal di kampus ini dipenuhi orang. Ramainya minta ampun.
"Fad...." Sepatah sapaan lembut menggugah saya dari pikiran yang mengambang. Saya toleh ke arah asal suara itu. Liar gerak bola mata bening saya menangkap sesosok makhluk manis lagi tersenyum manis, duduk santai di bangku panjang kantin.
"Eh... Kris, tumben ke sini?" sapa saya tergagap.
"Memangnya nggak boleh?"
Sejenak saya hanya mengumbar senyum padanya. Lalu bergegas saya melangkah, dan duduk di sampingnya.
"Boleh saja, Kris. Tapi...." Saya jawab sekenanya pertanyaannya dengan kalimat yang menggantung.
"Tapi apa?" Dia bertanya dengan raut wajah penasaran.
"Sungguh kamu nggak tahu?" jelas saya, menanyainya.
"He-eh." Dianggukkannya kepala keras sampai sebagian dari rambut legamnya yang sebahu menyentuh wajah saya.
"Apa kamu nggak minder ke tempat semacam ini? Bergaul, berkumpul bersama kami?"
"Apa maksudmu, Fad?!" Nanar pada bola matanya jelas memperlihatkan kemarahan.
Saya menunduk. Tidak berani menatap wajahnya. Sekilas ekor mata saya sempat menangkap bias cahaya yang terpancar dari matanya yang agak berkaca kini.
"Saya tahu apa yang ada dalam benakmu sekarang, Fadli!" tegasnya dengan nada suara getas. "Kamu khususnya, dan teman-teman umumnya, menganggap saya lain dari kalian. Benar begitu, kan?!"
Saya hanya diam, lama sekali, sampai akhirnya Kris bangkit dan berlalu begitu saja dari kantin ini.
"Kris...!" Saya menjerit parau memanggil namanya. Ada semilir penyesalan yang merayap membaluti hati atas kejadian tadi. Saya sungguh menyesal.
"Kris... tunggu... kamu belum mendengarkan penjelasan saya!" Sekali lagi saya menjerit memanggilnya. Namun dia telah hilang dari hadapan saya.
Saya merasa sangat bersalah telah menyinggung perasaannya. Sementara dalam keterpakuan saya di kantin ini, beberapa mahasiswa yang lagi sarapan di meja sebelah, juga pemilik kantin ini, memandang dengan terheran-heran. Terbengong.
Kris Suryani, begitulah nama gadis manis itu, seorang mahasiswi semester dua fakultas ekonomi, teman sekelas saya. Dia sekaligus mahasiswi teladan di kampus kami. Sebagai seorang gadis yang terbilang kaya-raya, tentulah dia dengan sendirinya telah berbeda dengan kami. Apalagi ditambah dengan otaknya yang brilian — atau kelebihan lain yang dimilikinya, jelaslah semakin menciptakan jarak perbedaan tersebut.
Dan di situlah biangnya, kami acapkali menilai dia tidak pantas bergaul dengan kami yang kere. Kami lalu sengaja menghindar, menjauhi, bahkan cenderung bersikap memusuhinya. Padahal sebenarnya dia adalah gadis yang bersahaja dan santun. Kesederhanaan selalu menyertai tindaknya, baik saat di kampus maupun


CHAPTER 2:
KE RUMAH CINTA


"Kamu cemburu, Fad," kata Mama setelah sesaat saya ceritakan perihal Kris padanya.
"Cemburu? Hei, memangnya saya ini apanya, Ma?"
Lha, kok saya merasa kata Mama barusan....
"Nah, nah, lamunin dia lagi kan?" goda Mama.
"Ah, Mama ada-ada saja!" Saya pura-pura sewot.
"Tapi, Mama setuju kok," kata Mama lagi. "Habis, orangnya baik sih. Mana cakep lagi."
"Memang Mama pernah lihat Kris?"
Mama tersenyum. "Hm, belum sih. Tapi, Mama yakin dia pasti cantik karena kamu yang memilih...."
Saya mengibaskan Mama. "Ah, Mama! Sok tahu saja, nih!"
"Ya, sudah. Begini saja, Fad," Mama merengkuh pundak saya, dan membisiki sesuatu. "Mama kasih solusi. Sebentar malam kamu ke rumahnya saja. Minta maaf padanya, sekalian bermalam Minggu-an."
Saya membelalakkan mata. "Uh, Mama dimintai pendapat kok jawabnya yang nggak-nggak, sih?!"
Saya beranjak dari ruang makan dengan langkah gegas, meninggalkan Mama yang cekikikan kayak kuntilanak sehabis mempermainkan putranya. Ngasih saran kok yang....
Tapi, hei... solusi Mama boleh juga. Bukankah saya telah menyakiti hati gadis itu di kantin siang tadi? Mungkin Mama benar kalau seharusnya saya memang patut minta maaf dan bermalam Minggu....
What?! Bermalam Minggu?! Hei, saya kan bukan pacarnya? Punya hak apa saya bermalam Minggu dengan Kris Suryani yang berwajah secantik bidadari itu? Tidak, ah! Nanti saya dibilangin 'pungguk merindukan bulan' lagi! Tapi... kalau tidak minta maaf, bagaimana saya dapat menebus kesalahan saya padanya?
Tapi sudahlah. Lebih baik saya menuruti solusi 'spektakuler' yang disarankan Mama. Bagaimana tidak, setelah sekian lama tadi terombang-ambing dalam arus penyesalan, tiba-tiba Mama membuka jalan buntu di benak saya. Ah, sungguh beruntung hidup saya karena punya Mama gaul nan bijak.
Saya menghentikan langkah di bawah bingkai pintu ruang makan, membalik badan dan bertanya. "Mama kok tahu Si Kris?"
"O, itu?" bibir Mama mengoval. Mengeja 'O' tadi dengan nada tengil.
"He-eh," gumam saya perlahan, hampir-hampir tidak jelas di telinga saya sendiri.
"Tentu saja Mama tahu, Anak Manis." Sekali lagi Mama mengedipkan matanya. "Kris kan, putrinya Pak Rukmana Tedjakusuma, atasan Papamu di kantor."
"O, pantas Mama tahu." Giliran bibir saya yang mengoval.
"Ya, tahu dong!" Mama mengangkat dagunya pongah. "Kan kamu juga yang sering cerita? Heh, lupa ya?"
"Iya, iya. Mama sok tahu, deh," rutuk saya mencibir, menutupi kekikukan akibat ledekan Mama.
"Eh, Fad, jangan lupa ya, sebentar malam pakai parfum yang paling wangi. Bajunya yang paling bagus dan rapi, ya?" teriak Mama ketika langkah saya sudah terseret sampai di bawah bingkai pintu kamar. "Fad, kalau perlu Mama bantu setrikain baju kamu, ya?"
Sedetik saya hentikan langkah. Namun pada detik berikutnya saya melanjutkan langkah, dan pura-pura tidak mendengarkan gurauan Mama tadi. Terus saja masuk dalam kamar, dan menguncinya dari dalam. Di belakang daun pintu kamar, saya menengadah. Tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mama memang masih kolokan. Hei, barangkali pingin cepat menimang cucu!
***

CHAPTER 3:
KENCAN


"Astaga!"
Saya bergumam kaget. Jam dinding yang tergantung di dinding kiri kamar saya telah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Sialan! Kenapa saya bisa sampai ketiduran begini? Mana belum mandi dan belum makan lagi!" gerutu saya.
Tergesa saya sambar handuk yang tergantung di cantelan belakang pintu kamar. Tanpa berbasa-basi lagi seperti biasa, bersiul dan bernyanyi-nyanyi kecil, saya langsung saja 'bar-bur-bar-bur'.
Beberapa menit kemudian, mandi dan dandan kilat selesailah sudah.
"Pa, Mama ke mana sih?" tanya saya pada Papa yang sedang duduk santai membaca koran di ruang tamu.
"Kan sedang arisan sama ibu-ibu karyawan kantor." Papa menjawab tanpa mengangkat mukanya. Kepalanya masih tenggelam di antara lebar lembar kertas koran.
Ah, pantas saja saya nggak dibangunin, habis Mama lagi pergi sih! Saya jangkau helm yang terletak di bawah meja ruang tamu.
"Pa, saya pakai sepeda motor, ya?" pinta saya.
"He-eh." Sekali lagi Papa menjawab tanpa mengangkat muka.
Bagai dikejar genderuwo, saya sambar juga kunci kontak sepeda motor yang terletak di samping rokok Papa. Dengan setengah berlari, saya keluar dari pekarangan. Menuju ke tempat biasa, dimana sepeda motor itu terparkir.
"Fad, Fadli... hati-hati, ya?" Papa masih sempat menasehati saya ketika sepeda motor tua ini saya hidupkan. Tapi kalinya ini kepalanya sudah nongol menengok ke arah saya.
Belum lagi saya keluar dari pekarangan rumah, Papa sudah teriak-teriak lagi.
"Eh, Fad! Kamu kan belum makan?"
Saya tancap gas dalam-dalam seraya berteriak. "Sebentar saja makannya, Pa! Dadah!"
Sekilas saya lihat Papa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Selebihnya sepeda motor tua ini meraung-raung persis bebek yang lagi keinjak.
Dan karena mesinnya yang sudah payah, asap yang keluar dari knalpotnya persis dry-ice yang biasa dipakai dalam ngilustrasi asap atau halimun dalam show di panggung atau televisi. Tapi sayangnya dry-ice yang dihasilkan knlpot sepeda motor tua saya ini lain daripada yang lain. Kalau yang biasa kita lihat adalah putih-bersih, nah kalau sepeda motor tua saya ini dry-ice-nya hitam-legam. Tapi peduli amat, saya mesti buruan. Masa sih berkencan di rumah cewek jam dua belas malam, ih amit-amit jabang baby, deh! Bukan kenapa, mungkin sehabis kencan muka ini bisa bentol-benjol kena timpuk bogem mentah babenya! pikir saya geli.
Lha, sejak kapan saya kencan dengan Kris? Sejak kapan saya pacaran sama cewek manis itu? Sejak kapan saya merasa inilah first date....
Ah, ah! Saya kok jadi linglung dan bingung sendiri?! Ups! Ini juga karena Mama! Ini karena Mama ngebet pingin menimang cucu. Bah!
Sementara saya terombang dalam arus pikiran sendiri, saya mengerem sepeda motor ini mendadak. Traffic-light sedang menyala merah.
Uh, sial!
Bisa-bisa saya kemalaman baru dapat sampai ke rumah doi! umpat saya kesal. Dan, huh! Semua mata yang berseliweran di pinggir jalan telah terlanjur menatap saya yang tengah duduk gelisah di atas sepeda motor butut ini!
Seperti terhipnotis oleh sebuah sulap!
Aduh, mamamia! Malunya hati ini. Ini juga gara-gara ban sepeda motor yang sudah botak-plontos persis donat. Hasilnya ya, itu. Kalau ada pengereman mendadak, bunyinya nyaring seperti suara tikus yang kejepit perangkap jepit.
Saya pura-pura cuek. Memandang lurus ke depan. Beberapa orang di pinggir trotoar berbisik-bisik menanggapi sepeda motor butut saya ini. Mungkin mereka heran karena sepeda motor serongsok ini masih dapat diajak kompromi. Padahal seharusnya sudah dikiloin pada pemulung besi tua!
Saya masih ngedumel pada lampu yang belum berubah warna, ketika mendadak pendengaran saya menangkap jelas suara serupa bisik-bisik. Seorang ibu gembrot dengan anak gadisnya.
"Motor itu mungkin BBM-nya dari minyak tanah, ya? Kok asapnya rame banget!"
Saya tersinggung. Hendak mempelototi ibu gembrot tadi, tapi keburu lampu hijau sudah menyala. Saya segera tancap gas dalam-dalam, dan melaju dengan cepat lagi.
Huh! Enak saja dia bilang sepeda motor saya ini pakai BBM minyak tanah. Kalau tadi masih lama di sana, pasti deh si Gembrot itu bilang minyak pelumasnya bukan dari oli, tapi minyak kelapa! maki saya kesal.
***

CHAPTER 4:
GETAR CINTA


Tiba di kompleks perumahan mewah Panakkukang Mas, saya memperlambat laju sepeda motor ini. Mencari rumah Kris. Beberapa kali saya berputar-putar sekitar kompleks, sampai hampir berputus asa. Sebelumnya memang saya tidak pernah ke rumah Kris. Informasi yang saya dapat mengenai alamat rumah Kris misalnya, atau hal-hal yang berbau privacy, saya dapat dari Shinta, sahabat karibnya sekaligus sahabat saya sewaktu di SMA. Tentu saja tidak mudah mengorek keterangan dari gadis bertitel matre itu. Ada imbal balas jasa yang mesti saya penuhi agar data valid Kris dapat saya akses dengan mulus. Semangkuk bakso dan teh botol di kantin kampus akhirnya jadi pilihan yang mau tidak mau harus saya sodorkan sebagai imbal barter. Cingcailah!
Kita lanjut ke alur terkini.
Akhirnya saya temukan juga rumah yang saya tuju. Di atas bingkai pintu rumah yang bercat putih-bersih itu, terpampang sebuah papan nama yang bertuliskan nama 'Ir. Rukmana Tedjakusuma'.
Pasti ini! Tidak salah lagi!
Heh, bukan apa-apa sebenarnya. Saya sudah banyak terkibul oleh titel yang melekat di depan nama seseorang. Sewaktu mencari dosen saya suatu saat dulu, saya pernah terkecoh oleh titel serupa. Waktu itu saya mencari nama dosen saya yang bernama Ir. Rustam Amirullah. Namun entah, saya salah masuk gang, dan jauh dari kompleks dosen Tamalanrea — alamat yang saya tuju. Saya menemukan nama serupa nama dosen saya. Ir. Rustam, B.Sc. di kompleks yang salah saya sasari. Ketika saya dengan pedenya masuk ke rumah separo gubuk itu, barulah saya tersadar kalau titel yang melekat di depan dan belakang nama 'Rustam' itu bukan titel gelar disiplin ilmu. Tapi Ir. yang merupakan singkatan 'Ini rumah' dan B.Sc. yang merupakan singkatan 'Bekas Supir camat'!
Pufh! Asal!
"Hehehe... nggak salah kan, Dik!" tuturnya enteng ketika saya pangling. "Saya memang bekas supir camat! Dan, ini memang rumah saya!"
Iya, iya. Tapi sekalian saja Bapak pakai gelar MBA! Married by Accident! gerutuku ketika itu — tapi tentu saja dalam hati. Habis, sudah nyasar eh ketemu pula orang gokil begitu!
Kita lanjut ke alur terkini.
Ini rumah Ir. Rukmana Tedjakusuma. Insinyur beneran ayahnya Kris Suryani. Dan saya telah memasuki pekarangan rumahnya dengan dada yang berdebar. Tentu saja setelah memarkir si Butut sepeda motor bebek tua saya jauh-jauh dari pekarangan rumah bagus ini! Sori, bukan karena saya tidak menghargai jasa-jasa si Butut dari zaman baheula sampai sekarang — jelek-jelek begitu si Butut adalah veteran Perang Dunia Pertama, maksudnya motor bebek keluaran pertama! Bukan. Tapi sungguh dia tidak sebanding dengan gemerlap yang dipancarkan oleh rumah mewah ini yang tengah terparkir sebuah BMW keluaran terbaru. Sebenarnya si Butut juga itu dulunya BMW. Hihihi... Bebek Merah Warnanya sebelum ganti warna cat menjadi hijau!
Dan sekarang saya sudah di depan pintu rumahnya. Mematung dengan tangan kanan yang masih tergantung di udara dalam gaya hendak mengetuk. Waktu di pergelangan tangan kiri saya telah menunjukkan pukul delapan lebih limabelas menit. Saya kemalaman. Ini bukan kesan pertama yang baik. Ini bukan tanggapan yang baik dari kedua bokap-nyokapnya nanti. Tapi saya sudah berdiri di sini! Masakah saya harus mundur pulang?! Heh, jangan-jangan bila saya mundur pulang kesempatan untuk bertemu secara personal dengan dia tidak pernah akan datang lagi seumur hidup saya?!
Ups! Saya gamang! Ini pilihan tersulit dalam seumur hidup saya!
***

CHAPTER 5:
DI RUMAH CINTA


Saya masih berdiri terpaku. Saya ragu, jangan-jangan kehadiran saya dianggap mengganggu mereka. Hei, ini kan malam Minggu? Barangkali saya Kris lagi diapelin oleh cowok lain. Habis, mobil BMW yang terparkir di halaman rumah itu punya siapa? Mungkin pacarnya Si Kris. Kalau mobil Bokap-Nyokap dia kan pasti sudah masuk garasi. Sepertinya mobil si Jangkung....
Hm, itu memang mobil gebetan Kris....
Saya hela napas kuat-kuat untuk menghimpun keberanian. Huh, peduli amat Kris diapelin oleh siapa, selama 'janur kuning' belum berkibar, boleh dong saya berusaha menggaet hatinya? Semua manusia kan sama status dan derajatnya di mata Tuhan. Jadi, saya yang kere ini jangan mau kalah dengan anak konglomerat!
Mata saya menjangkau beberapa anyelir juga anggrek yang tertata rapi di depan serambi. Ada sebuah kolam kecil di tengah-tengah taman yang ditata apik ketika saya alihkan edaran mata saya ke tempat lain. Di tengah kolam itu sendiri terdapat sebuah pancuran air yang berbentuk patung putri duyung. Indah sekali. Segalanya tampak asri dan natural. Hm, siapapun yang merancang semua itu pastilah memiliki sentuhan rasa seni yang tinggi. Atau paling tidak, yang merancang semua itu pastilah salah satu arsitek terkemuka. Suatu saat saya pingin punya rumah dan taman seperti itu! pikir saya ngelantur. Heh, tentu saja kalau saya sudah jadi kaya!
Tok-tok-tok!
Tanpa sadar saya mengetuk pintu tiga kali!
Oups!
Sungguh, saya tidak benar-benar mau melakukan itu. Tapi entah kekuatan gaib dari mana yang menggerakkan tangan kanan saya hingga mendarat di daun pintu dari bahan kayu jati bagus tersebut.
Saya dengar ada langkah sandal yang terseret. Terlambat untuk menyesali tindakan saya itu. Namun saya jadi sedikit lega. Pasrah saja. Saya siap menanggung segala kekecewaan bila ternyata Si Kris memang lagi kencan sama seseorang — yang dalam pikiran saya tentu saja lebih baik segala-galanya dari saya.
"Cari siapa ya, Kak?" sapa kecil khas bocah melantun begitu daun pintu terkuak.
Saya masih nervous. "Eh, uh, bisa ketemu dengan Kris?"
"Oh, Mbak Kris? Mbak Kris-nya ada di dalam tuh!" ujarnya dengan mimik lucu. Bola matanya hitam bening, persis punya Kris. Rambutnya dikepang dua berpita pink.
"Boleh saya...." Kalimat saya terputus ketika sesosok yang sudah tidak asing lagi di mata saya keluar dari ruang dalam.
"Tika, yang datang siapa?" tanyanya pada gadis kecil yang dipanggil Tika tadi. "Suruh masuk dulu, deh."
Sedetik kemudian mata kami sudah bertumbukan. Mendadak tubuh saya seakan mengejang. Sungguh, saya terpana melihat sosok lampai yang terbungkus dalam gaun katun hitam-hitam itu. Tampak anggun sekali.
"Eh, Fadli...." sapa Kris dengan roman muka yang jelas menggambarkan keheranannya. Senyumnya tersungging secara spontan tanpa dibuat-buat.
"Ma-malam, Kris...."
"Eh, kok berdiri saja kayak patung?" celotehnya bergurau. "Mari masuk, duduk deh."
Saya masuk dalam langkah hati-hati. Dada saya masih menggemuruh. Asli dia cantik sekali malam ini!
"Mimpi apa saya semalam kamu datang malam ini?" sambungnya lagi, masih dihiasi senyum manis.
"Eh, uh, ng-nggak mimpi apa-apa...."
Oups! Saya ngelantur. Linglung. Tapi cepat-cepat saya bilang, "Eh, sori ya, Kris. Mungkin saya mengganggu kamu dengan kedatangan saya yang tanpa permisi ini."
"Oh, nggak-nggak! Justru saya senang, karena kamu bisa temenin saya. Soalnya Papi-Mami lagi ke kondangan," akunya ceria.
Saya terdiam dan tertunduk. Kembali mata saya hanya dapat bergerak bebas memandang seisi ruangan rumah Kris. Di dinding tergantung lukisan besar berbingkai emas sepasang suami-istri, yang pasti adalah Papi-Mami Kris. Juga di dinding-dinding sebelahnya tergantung lukisan reproduksi Monalisa karya Leonarda da Vinci, lukisan-lukisan para pelukis abad mediterania semacam Rembrandt, dan sebuah lukisan potret diri Van Gogh. Di samping sisi dinding kiri-kanan terletak dua-tiga guci besar. Entah asli, entah palsu. Yang pasti guci tersebut bergraver naga atau ular. Sangat indah. Keramik dan patung-patung porselin lain tersusun rapi di atas dan di dalam sebuah lemari kayu besar. Semuanya antik dan kuno. Keluarga Kris rupanya peminat dan pemerhati barang-barang yang bernilai seni. Paling tidak, mereka punya citarasa seni yang jempolan. Itu telah menunjukkan dari kalangan mana mereka berada.
***

CHAPTER 6:
JANGAN BEDAKAN AKU


 Saya masih duduk seperti patung di sofa rumah Kris Suryani.
"Eh, Fad. Sori ya, mengenai kejadian siang tadi. Soalnya saya terlalu emosional sih!" Kris membuyarkan lamunan saya dengan permohonan maafnya.
"Justru, sayalah yang seharusnya minta maaf sama kamu, Kris!" sergah saya dengan nada bersalah. Saya jadi malu sendiri bila mengingat kejadian tadi siang di kantin kampus.
Sejenak Kris mengalihkan pembicaraan kami dengan memanggil Tika, adiknya.
"Tika, suruh Bik Sumi buatkan dua gelas minuman, ya? Eh, Fad, kamu mau minum apa?"
Saya risih. "Nggak usah, Kris...."
"Nggak apa-apa lagi." Kris tersenyum. "Masa sih tamunya dibiarkan kering."
"Apa saja, deh."
Kris mengaba pada Tika yang bersender di bahunya. "Kalau begitu, teh saja ya? Tik, bilangin ke Bik Sumi, seduhin dua gelas teh untuk Mbak, ya?"
Tika mengangguk lantas berlari ke ruang dalam.
Beberapa detik kami kembali membisu.
"Kris, mengenai kejadian siang...." Kris mengibaskan tangannya, sontak membungkam kalimat saya yang belum rampung.
"Sstt... sudahlah, Fad!" sahutnya sembari menempelkan jari telunjuk di bibir tipisnya. "Lupakanlah kejadian siang tadi, oke?"
Saya mengangguk. Lalu menunduk lagi. Saya hanya melirik sekilas ke arahnya.
Kris nampak menghela napas panjang.
"Fad, saya sadar, sebagai seorang gadis yang tumbuh di dalam keluarga yang berada, tentulah saya nggak terlepas dari segala kemewahan dan kemudahan fasilitas yang diberikan oleh orangtua saya." Kris mengungkap serupa curhat. Dan dia jeda tiga detik menelan ludahnya.
Saya turut menelan ludah.
Tiba-tiba ada rasa iba yang mengajuk hati saya di dalam sesal yang berkepanjangan.
Pembedaan yang telah kami ciptakan ternyata sangat menyiksanya.
Kami memang telah berdosa padanya!
"Itu nggak dapat saya pungkiri. Itulah kenyataan yang harus saya terima. Heh, sebenarnya bukan kenyataan ya? Tapi anugerah! Itu adalah anugerah yang bagi kebanyakan orang dinilai sebagai sesuatu hal yang menyenangkan. Mau ini, ada. Mau itu, tersedia. Wah, pokoknya glamor!" ungkapnya melanjutkan dengan wajah serius.
Saya masih takzim menyimak. Hanya sesekali melirik mimiknya yang agak mengguratkan kesedihan.
"Tapi saya sadar, semua materi itu hanyalah bersifat sementara. Nggak langgeng dan abadi. Yang pasti, nggak menjamin seseorang bisa berbahagia. Semua harta-benda itu adalah milik orangtua saya, yang didapat dari usaha dan kerja keras. Itu adalah rezeki kami dari Allah, Fad. Kapan saja materi itu dapat hilang jika Allah menghendaki-Nya. Jadi, kekayaan itu bagi saya merupakan anugerah yang, tentu saja patut kami syukuri. Bukannya malah sebaliknya. Menjadi media status dan strata pembeda manusia dengan manusia lainnya. Jadi, kami menyikapi keadaan mapan keluarga kami ini dengan biasa-biasa saja. Justru saya heran, kalianlah yang membedakan kami...."
Saya tercenung mendengarkan penjelasan Kris.
"Nah, jadi sekarang saya mohon, tolong kalian jangan membedakan saya lagi," pinta Kris penuh harap. "Karena pada prinsipnya, sesungguhnya sejak saya lahir dari rahim Mami atau bahkan kelak terkubur dalam tanah, saya nggak membawa bekal apa-apa selain amal kebajikan!"
Saya terpukau, dan sama sekali jauh dari prasangka saya yang dulu sehingga menciptakan jarak dengan gadis kaya tersebut.
***

CHAPTER 7:
KETIKA BAYANG CINTA MENARI


Saya masih duduk tepekur di sofa rumah Kris.
Kalimat-kalimatnya barusan menohok dada saya dalam ketersimaan. Dia memang bukan gadis biasa. Dia adalah segelintir di antara gadis biasa. Mungkin, mungkin dalam hidup saya tak akan pernah saya jumpai lagi gadis semenawan Kris. Dia memang gadis yang berpekerti baik!
"Saya simpatik...."
Oups! Nyaris saya tampar pipi saya sendiri. Saya kelepasan ngomong.
"Ada apa, Fad?" Kris sempat dengar. Dia bertanya.
Wajah saya memerah. "Oh, nggak apa-apa kok, Kris!" dusta saya.
"Oya, tadi sore saya telah bicara baik-baik dengan Papi-Mami. Mulai Senin besok, saya nggak mau diantar-jemput lagi sama Mas Agus. Saya akan pergi ke kampus sendiri. Pulang juga. Hm, enakan naik angkot ya? Sepertinya, nggak usah ngerepotin siapa-siapa. Lagian, kasihan Mas Agus-nya. Selain ngerepotin karena sudah menyita banyak waktunya, dia juga bakal susah dapat cewek. Kalau terus-terusan saya nebeng dia, jangan-jangan saya malah dianggap pacar Mas Agus. Cewek-cewek pada mundur kalau mau naksir dia. Padahal, saya kan sepupunya doang! Bukan pacarnya!" Kris tertawa. Matanya mendelik lucu.
"Ja-jadi... si Jangkung itu?!" Saya terlonjak kaget.
"Namanya, Agus Prawiranegara. Dia kakak misan saya, Fadli." Kris menjelaskan. "Jadi, bukan pacar saya. Hehehe. Kamu terkecoh juga, kan?"
"Oh, kirain. Mumpung...."
Kris mengernyitkan alisnya. "Mumpung apa, Fad?"
"Eh, uh, ng-nggak ada apa-apa, Kris!" Penyakit gumamam tanpa sadar saya kumat lagi! Rasa-rasanya saya ingin menampar pipi saya dengan sungguh-sungguh. "Oh, jadi si Jang... eh, Si Agus itu adalah kakak misan kamu, ya?"
"He-eh," angguk Kris mengiyakan. "Memangnya kenapa?"
Entah, hati saya jadi kacau tidak menentu. Jantung saya berdegup bagai beduk yang ditabuh bertalu-talu.
"Ka-kalau begitu... sa-saya masih...."
Saya tergagap. Antara bingung dan bego!
"Yang kalem dong bicaranya, Fad. Jangan gugup begitu. Hei, kamu nggak sedang dikejar utang, kan?" Kris mengurai kalimat gurau.
"Kris, sa-saya suka sama kamu!"
Bruukk!
Astaga!
Saya merasa seperti ada yang melompat keluar dari balik dada saya!
Entah kekuatan gaib dari mana yang mendorong bibir saya menggetarkan kalimat tadi! Rasanya saya lebih memilih mati di tempat saat ini juga! Ya, saat ini juga!
Kris menundukkan kepalanya. Dia terdiam lama. Lama sekali. Saya sekarang tidak berani memandang wajahnya meski hanya dalam satu lirikan!
Saya malu! Tidak pantas saya yang miskin ini mengucapkan kalimat suka itu padanya! Tidak pantas! Dia terlalu sempurna bagi saya. Terlalu sempurna!
Saya beranjak. Segera. Selekas mungkin. Saya memang tidak pantas berada di hadapannya kini! Sungguh, sungguh saya terlalu lancang mengungkapkan perasaan cinta padanya! Sungguh....
"Kris, maafkan saya! Saya terlalu lancang! Nggak pantas saya ucapkan kalimat itu tadi pada kamu!" tutur saya lunglai, melangkah keluar dengan persendian serasa ngilu.
Saya malu!
Saya beranjak meninggalkan rumah Kris.
Namun langkah saya terhenti pada tindak ketiga di serambi rumahnya kala dia menerobos keluar dari bingkai pintu.
"Saya juga cinta kamu, Fadli!" teriaknya. Berjalan mendekat ke arah saya.
Bruukk!
Kali ini ada yang menggemuruh di balik dada saya, dan sesaat kemudian saya serasa terbang tak menginjak tanah! Saya tidak percaya dengan pendengaran saya sendiri. Jiwa saya sudah mengambang ke awan-awan nan putih di langit. Terus melanglang di antara kumpulan gemintang yang tengah bersinar indah!
"Sungguhkah itu, Kris?!"
"He-eh." Angguk Kris yakin. "Sedari dulu, saya memang suka kamu, Fadli! Tapi, selalu ada jarak yang kamu ciptakan setiap saya hendak pedekate. Saya sempat kecewa, dan patah hati!"
Spontan saya rengkuh tubuh lampai itu ke dalam pelukan. Gadis itu tersenyum bahagia, merebahkan kepalanya di bahu saya.
Dalam suasana mesra, tiba-tiba kami dikejutkan oleh celoteh gadis kecil Tika, yang saat itu keluar mengantar minuman bersama Bik Sumi.
"Iiiih... Mbak Kris pacaran, Mbak Kris pacaran...." Tika melonjat kegirangan sambil bertepuk-tepuk tangan.
Tergesa kami melepaskan pelukan dengan rona wajah memerah. Dan pada detik berikutnya, tawa kami pun berderai. ©

TAMAT
 :::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

http://thefilterband.blogspot.com/
WUJUDKAN MOTO INDRAMAYU REMAJA ( RELIGIUS MAJU MANDIRI DAN SEJAHTERA ) 

GOOOOO !!!!!!!!!!!! INDRAMAYU .......


 
Copyright 2010 GAYA HIDUP. All rights reserved.
Themes by Ex Templates Blogger Templates - Home Recordings - Studio Rekaman